Tantangan layanan kesehatan di Indonesia bukan hanya terletak pada jumlah fasilitas dan tenaga medis, tetapi juga pada bagaimana semua elemen dalam sistem dapat saling terhubung dan bekerja secara efisien. Di tengah kebutuhan tersebut, digitalisasi klinik menjadi jalan keluar yang tak terhindarkan—bukan sekadar tren, melainkan fondasi baru dalam memberikan layanan kesehatan yang lebih cepat, transparan, dan inklusif.
Startup teknologi kesehatan lokal, Vit, hadir dengan pendekatan yang berbeda: membangun ekosistem kesehatan digital yang terintegrasi, modular, dan inklusif, dari klinik dan apotek di kota, hingga fasilitas layanan kesehatan desa.
Mengapa Klinik Perlu Digitalisasi Sekarang?
Klinik merupakan garda terdepan layanan kesehatan primer. Namun, mayoritas masih bekerja secara manual atau menggunakan sistem yang tidak terintegrasi. Akibatnya, banyak pasien yang harus berulang kali mengisi data, membawa berkas fisik, dan mengalami antrean panjang hanya untuk layanan dasar.
“Padahal data kesehatan pasien seharusnya menyatu dalam satu sistem, bisa diakses oleh tenaga medis, dan yang paling penting: bisa diakses sendiri oleh pasien,” ujar Andri Kurniawan, CEO Vit.
Dengan pendekatan Personal Health Record (PHR), Vit memberikan pasien kendali penuh terhadap data kesehatannya melalui aplikasi yang bisa diakses secara mandiri. Pasien bisa melihat rekam medis, riwayat obat, hasil lab, hingga status BPJS — semuanya dari ponsel mereka.
Integrasi yang Menyatukan Klinik, Apotek, Lab, dan Pasien
Vit membangun sistem yang menyatukan seluruh rantai layanan: klinik, apotek, laboratorium, dan pasien dalam satu platform digital yang saling terhubung. Artinya, dokter tidak perlu lagi mengisi ulang informasi dasar; apotek dapat segera menerima resep digital; dan pasien tidak perlu mengulang cerita saat berpindah layanan.
“Dengan satu platform yang sinkron, waktu tunggu berkurang, human error menurun, dan pelayanan jadi lebih konsisten,” jelas Apri Pardede, CTO Vit.
Telemedisin Ramah Desa: Solusi Nyata di Tengah Keterbatasan
Telemedisin bukan hanya soal video call dengan dokter. Di banyak desa, masalahnya bukan di konsultasinya—tetapi di konektivitasnya. Vit menyadari hal ini, dan mengembangkan sistem semi-offline, yang memungkinkan klinik atau kader kesehatan menginput data meski tanpa sinyal, dan melakukan sinkronisasi saat koneksi tersedia.
Bersama fitur Pendamping Kesehatan Digital, warga yang belum familiar dengan teknologi tetap bisa mendapatkan layanan optimal. Kader atau admin lokal akan memfasilitasi proses pendaftaran, konsultasi, dan pengambilan data secara kolektif.
“Kami ingin telemedisin benar-benar menjangkau masyarakat pedesaan, bukan hanya hadir di kota besar,” ungkap dr. Zwasta P. Mahardhika, M.Med.Ed., Sp.KKLP, CMO Vit.
Efisiensi Klinis dan Keunggulan Manajemen
Vit memperkirakan—berdasarkan uji coba internal dan studi banding digitalisasi klinik global—bahwa penggunaan sistem terintegrasi dapat:
- Mengurangi biaya operasional hingga 30%, berkat skema Pay-as-You-Go, di mana klinik hanya membayar saat melayani pasien.
- Menurunkan waktu layanan per pasien hingga 32%, karena pasien memiliki data sendiri dan tidak perlu input ulang.
- Meningkatkan retensi pasien hingga 40%, berkat sistem engagement langsung dari aplikasi ke pasien.
Fitur reminder, edukasi pasca-kunjungan, dan komunikasi dua arah dari klinik ke pasien juga menjadi pembeda.
Solusi Modular, Integrasi BPJS, dan White-Label
Vit tidak hanya dibuat untuk kota besar. Sistemnya modular, cocok untuk klinik kecil maupun besar. Telah terintegrasi dengan SATUSEHAT, mendukung bridging BPJS, dan tersedia dalam format white-label, memungkinkan institusi kesehatan atau pemerintah daerah menggunakan Vit dalam merek mereka sendiri.
“Ini bukan sekadar teknologi, ini tentang mengembalikan waktu bagi dokter, kenyamanan bagi pasien, dan efisiensi bagi fasilitas,” tutup Andri.